Oleh : Marulam MT. Simarmata, M. Si
Pengantar
Pemerintah, melalui Kementerian Sosial RI mengajak masyarakat Indonesia untuk mengenang dan menghormati jasa-jasa para pahlawan nasional, yang telah berjuang demi kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan ke 77, yang jatuh pada Tanggal 10 November 2022, dengan mengusung tema besar “Pahlawan, Teladanku”.
Sebagaimana diketahui, ditetapkannya 10 November sebagai Hari Pahlawan didasari oleh Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959, Tanggal 16 Desember 1959, tentang Hari-hari Nasional. Kepres itu sendiri ditandatangani oleh Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno, tentu ditetapkannya 10 November sebagai Hari Pahlawan bukan tanpa alasan, tetapi dilandasi oleh peristiwa besar yang terjadi di negeri ini, ketika meletusnya pertempuran antara arek-arek Surabaya dengan tentara Belanda. Perang ini menelan banyak korban jiwa pejuang yang tewas saat melawan pasukan Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) dan sekutu.
Para pahlawan yang bertempur pada masa Revolusi Nasional Indonesia mengetahui bahwa, melawan penjajah bersenjata lengkap merupakan rintangan yang sulit, disisih lain, para pahlawan tidak memiliki perlengkapan perang yang sepadan. Namun, perlawanan yang ditunjukkan para pahlawan saat itu memiliki 2 (dua) hal yang sangat penting, yakni tekad dan semangat. Tekad untuk pantang menyerah dan tidak takut mati demi hak Indonesia, serta semangat juang dan keberanian yang berapi-api melawan pasukan penjajah.
Menjadi menarik, apa yang dikatakan Goenawan Mohamad “Saya selalu menganggap pahlawan tak pernah ada. Yang ada dan lebih berarti ketimbang pahlawan adalah laku kepahlawanan”. Dalam konteks ini, beliau ingin menyampaikan bahwa perbuatan yang tidak memikirkan keselamatan dan kelanjutan hidup sendiri ketika ingin menyelamatkan orang lain. Laku itu sangat langka dan tak dengan sendirinya melekat pada diri seseorang, juga tindakan heroik tak pernah datang dari langit, ia sebuah klimaks dari proses yang disiapkan orang-orang lain; tauladan pengorbanan diri dalam pelbagai peristiwa sejarah, nilai-nilai yang ditularkan dari generasi ke generasi, pelbagai ungkapan yang dibangun dan dijunjung kawan-kawan seperjuangan yang saat ini tongkat estafet itu berada dalam genggaman kaum milenial.
Fakta sejarah itu dapat kita lihat secara utuh, ketika pemuda yang di tengah ketegangan Kota Surabaya, Oktober 1945 merobek bendera Merah-Putih-Biru dan mengubahnya jadi bendera Merah-Putih di atap Hotel Yamato, merupakan sesuatu yang bukan ekspresi individual, tetapi tindakannya didahului pertemuan-pertemuan terbuka atau setengah terbuka dikalangan para aktivis. Adegan-adegan inilah yang seharusnya menjadi refleksi kita bersama, bagaimana menjadikannya sebagai inspirasi agar tidak menjadikan Hari Pahlawan ini sebagai kegiatan yang lebih mengedepankan seremonial belaka
Akhirnya, akan sangat ironi bila memperingati Hari Pahlawan sebatas seremoni saja tanpa mengambil tauladan dari nilai-nilai perjuangan untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Tinjauan Historis Hari Pahlawan
Sejarah pertempuran 10 November, merupakan salah satu peristiwa bersejarah besar bangsa Indonesia pasca kemerdekaan yang terjadi di Kota Surabaya. Peristiwa itu bermula, ketika tentara Inggris yang berada di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Auberlin Walter Sothem (A.W.S) Mallaby mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Mereka mendapat tugas dari Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) untuk melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan para tawanan perang, sementara itu pihak Netherlands Indies Civil Administration (NICA) juga ikut membonceng dan tiba di Surabaya.
Awalnya, kedatangan tentara Inggris ini disambut baik oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia, bahkan pertemuan antara wakil Pemerintah RI dengan Brigjen A.W.S Mallaby, menghasilkan sejumlah kesepakatan, yaitu : (1). Inggris berjanji bahwa diantara tentara mereka tidak terdapat angkatan perang belanda; (2). Kedua belah pihak setuju untuk saling menjaga keamanan dan ketenteraman; (3). Contact Bureau atau Kontak Biro akan dibentuk untuk menjamin, bahwa kerja sama dapat dilaksanakan dengan baik; (4). Inggris hanya akan melucuti senjata tentara Jepang.
Sayangnya, hasil kesepakatan tersebut justru diingkari oleh pihak Inggris. Satu peleton dari Field Security Section di bawah komando Kapten Shaw menyerbu penjara Kalisosok untuk membebaskan tahanan Belanda pada 26-27 Oktober 1945, mereka kemudian menduduki Pelabuhan Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Bank Internatio dan lainnya, sehingga hal inilah yang memicu amarah rakyat Surabaya melakukan penyerangan pada pos-pos sekutu. Pada 27 Oktober 1945, pesawat terbang milik Inggris menyebarkan pamflet berisi perintah agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata rampasan dari Jepang. Kontak senjata pertama terjadi Pukul 14.00 Wib, Tanggal 27 Oktober 1945, antara pemuda Surabaya dan tentara Inggris, setelahnya pertempuran meluas hingga menjadi serangan umum terhadap kedudukan Inggris di seluruh Kota Surabaya selama dua hari.
Berikutnya gencatan senjata antara tentara Inggris dengan Indonesia ditandatangani pada 29 Oktober 1945 dan keadaan berangsur reda. Namun, bentrokan tetap terjadi di Surabaya, terutama di Hotel Yamato. Hal ini dipicu oleh ketika tentara Belanda mengibarkan bendera di puncak Hotel Yamato, akibatnya penduduk Surabaya memanas melihat keadaan tersebut. Ketika negoisasi dilakukan oleh perwakilan Indonesia dengan Belanda, agar segera menurunkan bendera tersebut, namun ditolak oleh pihak Belanda dan bahkan mengancam perwakilan Indonesia dengan pistol menyebabkan perkelahian terjadi di lobi hotel, sejak itulah bentrokan maki kerap terjadi.
Puncak ketegangan pertempuran Surabaya terjadi pada 10 November 1945, ketika ultimatum yang diberikan sekutu sampai pukul 06.00 Wib, agar seluruh pimpinan dan orang-orang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat-tempat yang ditentukan tidak dihiraukan oleh rakyat Surabaya, kemudian rakyat semakin marah dan membuat pertahanan dalam kota yang dikomandoi oleh Sungkono. Mereka mengundang seluruh unsur masyarakat untuk mempertahankan Kota Surabaya dan menjaga kedaulatan Indonesia.
Bung Tomo menjadi salah satu tokoh yang turut berperan dalam peristiwa pertempuran Surabaya. Ia membakar semangat juang rakyat Surabaya melalui stasiun radio, akhirnya meletuslah pertempuran pada 10 November 1945, yang saat ini kita peringati sebagai Hari Pahlawan.
Generasi Milenial Pahlawan Selanjutnya
Jhon F Kennedy pernah berujar “apa yang bisa kita berikan buat bangsa dan negara, bukan apa yang dapat bangsa dan negara berikan pada kita”. Dalam konteks ini, jangan sampai mindset kita dibolak balik. Ia tak pernah minta dicatat atas kebaikan dan kedermawanannya tatkala menyumbang pembangunan tempat ibadah di desa terpencil, misalnya. Karena, semakin banyak yang kita keluarkan semakin banyak yang kita dapatkan.
Kita bisa menjadi pahlawan dimanapun, kapanpun juga asalkan apa yang kita kerjakan itu dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan, maka ketika membangun bersama rakyat kita tidak perlu merasa takut untuk tidak populer, juga tidak gentar menghadapi penghalang kemajuan tempat tinggal kita dan atau kita tidak harus menjadi galau saat ditinggalkan kawan-kawan lain karena memegang prinsip atas kebenaran dan kebaikan.
Mungkin masih segar dalam ingatan kita, ketika Pemerintahan Soeharto mengeluarkan TAP MPRS No. 33 Tahun 1967, tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno. Dapat kita lihat secara jelas, pada bagian menimbang atau konsiderans TAP MPRS itu, Soekarno disebut-sebut menguntungkan kelompok yang melakukan Gerakan 30 September 1965 yang pada perkembangan selanjutnya, TAP MPRS tersebut telah dicabut.
Dalam permasalahan ini sangat jelas ada sebuah tendensi politik yang terjadi, antara kekuatan Orde Baru dengan Orde Lama pada masa itu, sehingga akan konflik kepentingan ini mengaburkan sejarah yang buram bagi perkembangan politik berikutnya. Terbukti bahwa Tahun 2012, Soekarno ditetapkan sebagai pahlawan nasional dan juga ternyata tudingan yang ditujukan kepada Bung Karno dalam hal G30S tidak pernah terbukti, berdasarkan TAP MPR No. 1 tahun 2003. Artinya, pelajaran penting yang dapat kita ambil dari kejadian ini bahwa perbuatan, komitmen dan konsisten Bung Karno sebagai salah seorang “Founding Father” sekaligus seorang proklamator harus mendapat perlakuan yang kurang baik dari keseluruhan apa yang telah beliau perbuat bagi bangsa negara yang bernama Indonesia, karena pahlawan itu tak pernah bermohon diistimewakan. Mereka sadar betul berjuang di jalan ini, serasa melewati jalan sunyi yang tak pernah dilalui orang.
Disinilah, sebagai kaum muda milenial ketika menaburkan kebaikan tak perlu bertepuk dada, berbangga dengan kehebatannya pun ke-samaritaannya (pengalamannya). Orang tak selalu baik, benar dan berani, tetapi kita mengagumi tindakan yang baik, benar biarpun sebentar. Jadi kepahlawanan kita hari ini adalah, bagaimana kita dapat mengambil peran untuk membantu mengatasi persoalan yang dihadapi bangsa ini, bagaimana kita sebagai anak-anak muda yang penuh kreasi senantiasa bangga akan produk dan budaya bangsa dan merawat masa depan ke-bhineka-an dengan konten toleransi, bagaimana kita cerdas berjuang untuk memenangkan pertempuran global, dan tentunya pada akhirnya bagaimana negara hadir tidak hanya pada angka tetapi pada kenyamanan dan kemudahan layanan pada rakyatnya.
Horas…Horas…Horas…! Sapangambei Manktok Hitei – Bekerjasama untuk Mencapai Tujuan yang Hakiki.