Marak Kasus Kriminal oleh Anak Dibawah Umur, Dosen Hukum USI : Upaya Preventif jadi Solusi

Maraknya kasus kriminal yang melibatkan anak dibawah umur di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Hal ini menjadi sorotan karena tidak hanya merugikan korban, tetapi juga menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan anak sebagai pelaku.

Seorang dosen hukum, Johan Alfred Sarades Silalahi, menyatakan bahwa fenomena ini merupakan peringatan bagi masyarakat dan aparat penegak hukum untuk segera bertindak.

Johan menjelaskan bahwa penyebab keterlibatan anak dalam tindak kriminal dapat dibagi menjadi dua faktor utama, yaitu faktor internal dan eksternal.

“Faktor internal terkait dengan kondisi individu, sedangkan faktor eksternal mencakup lingkungan keluarga, sosial, dan pergaulan,” ujar Johan.

Ia menegaskan bahwa faktor eksternal memiliki pengaruh yang lebih besar, karena anak mudah terpengaruh oleh lingkungan sosial sehari-hari, yang dapat memengaruhi pola pikir dan pengambilan keputusan mereka, terlebih lagi peran orang tua ataupun keluarga sangat berpengaruh kepada faktor eksternal ini.

“Tidak bisa dipungkiri peran orang tua dalam pembentukan karakter dan pergaulan anak sangat besar, karena mengingat kasus kriminal yang dilakukan oleh anak tentu menjadi peringatan besar bagi semua orang tua,” tegas Johan.

Dalam hal penanganan hukum, Johan mengakui adanya dilema bagi aparat penegak hukum karena pelaku masih di bawah umur.

“Aparat cenderung mengambil langkah preventif, seperti pendidikan dan pembinaan, daripada memberikan hukuman yang berat,” jelasnya.

Menurut Johan, untuk anak di bawah usia 12 tahun yang terlibat dalam tindak pidana, sistem peradilan menawarkan dua pilihan: mengembalikan anak kepada orang tua atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan dan pembinaan selama enam bulan.

Johan juga menjelaskan bahwa batas umur bagi anak untuk dapat diajukan ke sidang anak didasarkan pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis adalah 12 tahun. Sedangkan anak yang usianya dibawah 12 tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pendekatan yang diterapkan dalam sistem peradilan pidana anak adalah keadilan restoratif dan diversi.

“Keadilan restoratif melibatkan pelaku, korban, dan keluarga dalam proses penyelesaian perkara, dengan tujuan mencari penyelesaian yang adil bersama dan menekankan pemulihan, bukan pembalasan,” papar Johan.

“Sementara itu, diversi bertujuan untuk menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan guna menghindari perampasan kemerdekaan dan menanamkan rasa tanggung jawab,” jelasnya.

Ia juga menjelaskan jika proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau diversi tidak dilaksanakan, barulah proses peradilan pidana anak dapat dilanjutkan.

Johan juga menyoroti dampak yang ditimbulkan oleh meningkatnya kriminalitas di kalangan anak, baik bagi individu maupun masyarakat luas.

“Rasa aman yang seharusnya menjadi hak warga negara kini terancam, dan ini berdampak pada sektor ekonomi. Contohnya di Pematangsiantar, kota menjadi sepi sejak pukul 20.00 WIB karena meningkatnya kekhawatiran masyarakat terhadap tindak kriminal,” ungkapnya.

Johan menekankan pentingnya peran pendidikan dalam mengurangi keterlibatan anak dalam tindak kriminal.

“Tidak bisa dipungkiri semakin tinggi ilmu yang dimiliki anak, semakin mempengaruhi keputusan dari si anak tersebut dalam keadaan apapun,” tutupnya

Reporter : Nur dan Mai

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WeCreativez WhatsApp Support
Hubungi Tim Samudera, agar segera meliput!
Halo sobat Samudera....