Dalam dunia politik dan pemerintahan, istilah gratifikasi kerap disamakan dengan korupsi secara halus.
Rajaingat Saragih salah satu dosen Fakultas Hukum (FH) USI menjelaskan bahwasanya gratifikasi adalah hal yang melibatkan pemberian sesuatu dengan tujuan memperoleh imbalan yang tak selalu dalam bentuk uang secara langsung, melainkan dalam bentuk lain seperti jabatan atau kekuasaan.
“Gratifikasi itu seperti, untuk memudahkan pekerjaan dan mendapatkan uang, saya memberikan hadiah berupa barang atau berupa bantuan jasa kepada pihak lain yang memiliki kewenangan untuk memudahkan upaya saya dalam berusaha mendapatkan uang, dengan itu mempermudah saya dalam mendapatkan uang,” jelas Rajaingat pada 12 September 2024.
Dengan adanya gratifikasi terjadi banyak penyimpangan yang menciptakan ketidakadilan, baik dalam urusan pekerjaan maupun dalam perebutan jabatan. Gratifikasi mempermudah individu untuk mencapai tujuannya secara tidak sah, terutama dalam hal mendapatkan uang.
“Misalnya, untuk meraih kekuasaan melalui politik, seseorang bisa menggunakan gratifikasi agar langkahnya lebih mudah. Setelah kekuasaan diperoleh, dia bisa mengelola uang dengan lebih leluasa,” tambah Rajaingat.
Gratifikasi termasuk tindakan yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Menurut undang-undang ini, pelaku gratifikasi akan dikenakan sanksi sesuai hukum yang berlaku. Berdasarkan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan tugas atau kewajiban dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi, dan pelaku bisa dihukum pidana penjara minimal 4 tahun.
Dan aksi gratifikasi ini memiliki dampak yang signifikan terhadap masyarakat, Rajaingat menjelaskan bahwa uang negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan bersama sering kali disalahgunakan. Ada hak masyarakat dalam keuangan negara yang akhirnya hanya dinikmati oleh sekelompok kecil orang. Hal ini jelas merugikan masyarakat luas dan hanya menguntungkan pelaku.
Menurutnya, gratifikasi merampas hak masyarakat terhadap keuangan negara yang telah diselewengkan oleh pihak tertentu. Dampak yang ditimbulkan pun sangat merugikan, terutama bagi kesejahteraan publik yang seharusnya menerima manfaat dari penggunaan anggaran negara secara adil namun itu tidak terjadi.
Dan ketika ditanya tentang bagaimana upaya meminimalisir tindakan gratifikasi, Rajaingat menegaskan bahwa hal ini bergantung pada ketegasan pihak yang berwenang dalam memberantasnya. Menurutnya, penegak hukum dan pihak-pihak terkait harus memiliki komitmen kuat untuk menindak segala bentuk gratifikasi.
“Semua kembali kepada orang yang berkompeten dan memiliki wewenang. Jika mereka tegas, maka gratifikasi bisa diminimalisir,” tegas Rajaingat.
Dalam konteks pemberantasan gratifikasi, dukungan dari masyarakat serta penegakan hukum yang transparan menjadi faktor penting dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari gratifikasi atau biasa disebut dengan korupsi halus tersebut.
Dengan demikian, gratifikasi tak hanya mengganggu integritas birokrasi, tetapi juga menimbulkan ketidakadilan yang merugikan masyarakat. Harapannya, dengan ketegasan pihak berwenang dan kesadaran publik, praktik gratifikasi dapat diberantas, menciptakan pemerintahan yang lebih adil dan transparan.
Reporter : Nurtaulina