Mental health adalah isu yang kerap diperbincangkan hampir semua kalangan. Namun, tak sedikit yang menyinggung Gen-Z dengan kesehatan mental yang dianggap lemah bahkan buruk.
Seperti yang dialami salah seorang mahasiswi OS (19), yang mengaku mengalami gangguan kesehatan mental diakibatkan pikiran berlebihan dan tekanan dari orang terdekat.
“Saya sendiri pernah merasakan tekanan ringan yang dimana saya merasa cemas. Hal ini terjadi karena overthingking, ekspektasi berlebih dan sering membandingkan pencapaian orang lain,” ungkap OS menceritakan.
Izhar Malobe mahasiswa psikologi Universitas Medan Area menyoroti dampak teknologi informasi. Meski tak selamanya buruk, perkembangan teknologi ini melahirkan dampak negatif seperti bullying.
“Perkembangan zaman yang sekarang sudah pesat dan akses untuk mendapatkan informasi begitu mudah jadi faktor terbesar kenapa Gen z ini terlalu mudah mengklaim diri mereka terkena ganguan mental,” jelasnya.
Gen Z tumbuh dalam era di mana media sosial mendominasi interaksi dan komunikasi. Paparan yang konstan terhadap gaya hidup yang tampak sempurna dari orang lain dapat memicu hal negatif. Hasilnya, mereka mengalami penurunan kepercayaan diri hingga mental terganggu.
“Saya pernah merasa tidak percaya diri pada penampilan saya, bahkan tidak percaya pada keputusan saya sendiri,”
kata NA (20) mahasiswa Universitas Sumatera Utara.
Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari setiap kalangan dalam mendidik dan mengontrol generasi yang berumur 10-25 tahun ini. Khususnya dalam segi gaya hidup dan kesehatan mental yang tentunya sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, keluarga dan lingkup pertemanan.
Hal tersebut dibenarkan oleh Wico Tarigan SE, M.Si salah seorang dosen Universitas Simalungun.
“Pendidik memiliki peran penting dalam kesehatan mental seorang anak, namun peran keluarga la yang paling penting. Anak sekarang lebih lemah mental, lebih rapuh, mudah tersinggung dan mudah merasa tersakiti,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan dampak lemahnya mental yaitu timbulnya ketidakseimbangan antara kegiatan fisik, berpikir dan berkomunikasi.
Menurutnya menjaga kesehatan mental anak dimulai dari keluarga, menciptakan lingkungan positif dan saling keterbukaan, disisi lain tenaga pendidik juga mampu memberikan kegiatan positif.
Dari sudut pandang orangtua sendiri pun menyetujui hal tersebut, seperti pandangan bapak berinisial SB,
“Sebagai orangtua saling peka terhadap anak, jangan terlalu cuek, jalin komunikasi kepada anaknya.Ya gimana caranya terbuka dan nyaman jangan sampe ada jarak antar orangtua dan anak”, jelasnya.
Tetapi menurutnya faktor utama seorang anak terkena gangguan mental tidak sepenuhnya berasal dari keluarga, tergantung bagaimana anak tersebut menyikapinya.
Reporter: Daniel, Viola, Hana, Aninda, Dwi