Di sebuah kota kecil yang dihiasi jalan-jalan berliku, terdapat dua jiwa yang terpaut oleh kenangan.
Aku, seorang penulis dengan hati yang penuh dengan kata-kata dan kamu, seorang pelukis yang melukis keindahan dunia dengan warna-warna ceria.
Kita adalah dua makhluk asing yang pernah dipertemukan alam dalam putaran waktu.
Kita berjalan dalam peziarahan hidup kita masing-masing, lalu tiba-tiba kita bertemu. Entah karena sebuah keharusan ataukah karena sebuah kebetulan, tetapi pertemuan itu sungguh tidak dapat dihindari.
Lalu kita saling berkenalan. Engkau memperkenalkan dirimu kepadaku tanpa kuminta. Kau mengutarakan banyak hal tentang dirimu tanpa kuharapkan untuk tahu. Tetapi dari cerita-ceritamu itu ada banyak hal yang aku sadar, termasuk menyadari tentang cara alam mempertemukan kita.
Setiap kata yang terucap, setiap sapuan kuas, mengingatkan kita pada waktu yang telah berlalu. Hari-hari itu mungkin berlalu, tapi kenangan kita tetap hidup dalam tulisan dan lukisan.
Aku menuliskan kisah kita, kamu melukisnya dengan warna-warna nostalgia.
Bertemu denganmu adalah hal yang tidak pernah aku duga, dan kehilanganmu adalah hal yang tidak pernah aku inginkan.
Desember menjadi saksi pertemuan kita, dan harus ku akui bahwa setelah pertemuan itu aku selalu memikirkan dirimu.
Desember memberikanku banyak kenangan indah, dan hujan juga menjadi saksi betapa bahagianya kita kala itu. Kau selalu pandai dalam merangkai kata yang selalu membuat pipiku menjadi merah merona. Pujian-pujian yang dari keluar dari mulutmu membuat aku selalu salah tingkah saat bertemu denganmu.
Hujan dikala itu, saat kita berdua sedang bercanda diatas kereta adalah salah satu kenangan yang tak kan pernah aku lupakan.
“Cantik, selalu cantik. Walaupun sudah terkena hujan mengapa wajahmu selalu cantik?,” ucapmu merayuku sambil melihatku dari kaca spion.
“Ah bohong, kau selalu pandai dalam hal menggombal wanita. Pasti sudah banyak wanita yang kau puji cantik selain aku,” kataku padanya.
Hahaha dasar wanita selalu tidak percaya jika dipuji oleh lelaki.
“Aku memang sedang tidak bergombal, apa yang ku katakan padamu semuanya benar, kau memang cantik, ditambah lagi senyumanmu yang manis membuatku selalu memikirkanmu,” balasnya sambil tertawa kecil.
“Berjanjilah untuk terus bersama-sama seperti ini. Jangan pernah tinggalkan aku dalam keadaan apa pun.
Aku berjanji akan terus bersamamu, dan kau juga harus berjanji akan terus bersamaku. Aku akan selalu mencintaimu, dan selalu mencintaimu,” tambahnya dan kubalas dengan senyuman.
Tak bisa ku pungkiri perasaanku saat itu. Aku merasakan seperti banyak kupu-kupu yang berterbangan di perutku.
Aku merasakan berapa beruntungnya aku dipertemukan oleh orang baik sepertimu.
Tetapi kebahagian itu hilang begitu saja. Januari adalah akhir dari pertemuan kita. Aku tidak tahu mengapa.
Tuhan hanya mempertemukan kita hanya sebentar. Janji-janji yang kita ucapkan untuk selalu bersama, seketika sirna dan hilang begitu saja.
Pertemuan yang sebentar tetapi memiliki banyak kenangan yang sampai sekarang tak bisa ku lupakan.
Aku selalu bertanya tanya pada diriku sendiri, “Mengapa ini bisa terjadi?Mengapa secepat ini? Mana semua janji-janjimu yang katanya tidak akan meninggalkanku?” pertanyaan bodoh seperti ini selalu muncul di kepalaku.
Di sudut lain, aku melihatmu bahagia dengan pilihanmu yang baru. Seperti tak ada penyesalan atau kenangan yang tertinggal di hatimu.
Aku tahu bahwa setelah mengingkari janji itu engkau bahagia di sana. Engkau seolah tidak pernah memikirkan bahwa aku juga memiliki perasaan, membutuhkan kehadiran dirimu. Apakah aku pernah berlaku tidak adil dengan perasaanmu? Bukan aku.
Engkaulah yang berlaku tidak adil dengan perasaanku.
Di sana kamu merayakan cintamu yang baru sedangkan aku masih membenahi hatiku.
Aku tidak ingin bertemu denganmu di kebetulan mana pun. Bukan karna aku membencimu, tapi aku takut ketika aku melihatmu aku jatuh cinta lagi padamu.
Setelah kepergiamu saat itu ada banyak hal yang kulakukan. Bahkan mencoba melakukan hal-hal yang tidak pernah kuinginkan.
Aku mencoba menahan luka yang begitu perih, menghapus air mata yang tertumpah begitu saja. Kamu tahu bahwa aku adalah seorang yang membenci air mata. Namun di hadapan bayangmu air mataku jatuh berkali-kali.
Jika kemungkinan bersama denganmu hanya 0,5 % maka aku akan percaya dengan 0,5% itu, dan untuk ikhlas yang tidak pernah direncanakan kini telah dirayakan.
Scripter : Maysharoh Purba