Cinta adalah anugerah Tuhan, oleh karena itu berhak dialami setiap insan. Termasuk anak-anak yang besar di kota. Selama beberapa hari, penulis mengamati banyak anak-anak yang hampir setiap sore berjalan kaki dari arah jalan jawa-menuju jalan Sisingamangaraja Barat, tepatnya mengarah ke area Universitas Simalungun (USI).
Ketika itu, Sore amat mendung, angin mendesir menerpa rambut dan menghempaskan dedauan. Tak banyak lagi mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Simalungun (FKIP USI). Sore memang sudah waktunya pulang bagi mahasiswa setelah sedari pagi duduk manis di dalam kelas.
Bagi anak-anak yang akan bermain disana, semakin cepat penghuni kampus USI pulang, maka semakin bagus. Keheningan kampus di sore hari adalah anugerah bagi mereka. Sebab, hanya disanalah mereka bisa menginjak rumput dan tanah untuk berlari menggiring bola.
Sepuluh anak-anak sudah mulai memasuki lapangan yang berada di kawan Fakultas KIP. Agar lebih mudah mengenali siapa kawan dan lawan, salah satu tim dari mereka membuka baju. Permainan pun dimulai, sebagian berlarian mengejar si kulit bundar, sebagian lagi menjaga di area gawang yang hari itu betul becek.
Rafa (11) hari itu bertugas sebagai penjaga gawang, meski demikian itu dilakukannya terpaksa, karena katanya ia biasanya adalah seorang striker yang rajin mencetak goal
“Biasanya kalau gak di USI kami main di pasar, di aspal komplek. Cuman ngerilah, kalau ada kereta tin tin tin,” kata Rafa mencontohkan sembari matanya mengarah kemana bola dibawa, selasa (14/09/2022).
“Dulu ada lapangan, cuman sudah dibuat rumah,” sambung yang lain.
Di daerah tempat tinggal mereka, tanah-tanah kosong sudah di sulap menjadi bagunan rumah-rumah. Kalaupun ada halaman rumah yang lapang, mereka dilarang bermain karena takut jendela rumah pecah atau mobil yang di parkir akan terkena bola yang di tendang.
Sementara di jalanan komplek, mereka sering dimarahi karena akan mengganggu penggunan jalan. Parahnya lagi, kaki mereka akan lebih sakit ketika jatuh diatas aspal dibandingkan tanah.
Meski begitu, mereka tak habis akal untuk mencari tempat yang lebih lapang, tidak beralaskan aspal, tidak di klakson pengguna jalan dan paling penting tidak dimarahi
“Ayok USI, biasa gitu ngajaknya. Kalau disini luas, ngak ada kereta masuk lapangan, jadi kami suka main-main di USI,” kata Rafa.
Bagi mereka, bermain bola adalah rutinitas. Bermain diatas tanah dan rumput adalah anugerah, sebab apabila mereka selalu dirumah bermain game, orang tua mereka akan akan lebih besar marahnya
“Cumah disini becek. Airnya dihilangin lah, biar ngak licin,” lanjutnya
Minimnya lokasi bermain anak-anak turut dirasakan rafa dan teman-temannya. Menurutnya tempat bermain harusnya bisa mereka rasakan di daerah tempat tinggalnya
“Maunya adalah lapangan lagi untuk kami anak anak, yang ada rumputnya terus ada lomba main bola untuk anak anak, kalau mau game dimarahi terus,” tutupnya.
Reporter: Abed Saragih