Istilah Jurnalistik baru aku kenal dengan baik setelah aku duduk di bangku kuliah, tapi bidang ini sudah aku gemari hampir sedekade lalu. Ya, ayahku bukan pendengar drama, beliau lebih suka nonton berita.
Berawal dari situlah ketertarikanku bermula. Melihat seorang wanita yang mempesona di layar kaca, membuatku ingin seperti dirinya. Mempesona bukan karena elok rupanya, namun kharisma seorang wartawan yang dimilikinya.
Setelah meyakinkan diriku, selama tiga hari aku mengikuti Pendidikan Dasar UKM Pers & Sastra Universitas Simalungun angkatan ke-12, tepatnya di Hutan Diklat Pondok Buluh, sebuah tempat yang kelilingin pohon-pohon yang menjulang tinggi.
Banyak hal yang aku dapatkan melalui pendidikan itu. Entah bagaimana caranya aku menyampaikan ini semua, mungkin hanya melalui sedikit kisah ku ini.
Tak mudah untuk aku bisa mengikuti pendidikan ini, ada orangtua dan keluarga yang perlu diyakinkan, juga diri sendiri yang perlu dipersipakan. Tapi bermodal tekad dan kepercayaan semua bisa dilakukan.
Pada pagi yang cerah bulan januari 2022, aku dan teman-temanku diarahkan kompak menggunakan pakaian hitam putih. Pagi itu suasana kampus masih sepi, kami berbaris di lapangan untuk keberangkatan.
Sebagain dari kami tersenyum, sebagian lagi tanpa ekspresi. Tapi yang jelas, tak sabar menanti kegiatan.
Kami menggunakan kendaraan Satuan Polisi Pamong Praja. Senang sekali, diperhatikan banyak orang serasa kami ini calon Satpol PP, tapi ternyata kami calon pers mahasiswa.
Setibanya di pintu masuk menuju Hutan Diklat Pondok Bulu, aku begitu heran. Mataku tak henti-hentinya melihat sekeliling, suasana jalan masuk cukup gelap karena pepohonan, cukup menyeramkan, sekali lagi ini menyeramkan.
Aku pikir tak akan ada satu rumah pun di tempat seperti hutan itu. Namun sampai di sana, ada bangunan seperti bentuk sekolah, ada pendopo yang bisa di duduki. Aku tak menyangka didalam hutan seperti itu ada juga orang tinggal. Tempat yang cukup menjadi misteri dan menarik.
Tak hanya tempat yang menjadi misteri, arti dan fungsi pers mahasiswa yang menjadi tanda tanya bagiku akhirnya cukup terjawab pada hari pertama.
Ada beberapa materi dan kakak senior, kalau menurut pemahamanku pers mahasiswa adalah roda penggerak dan menjadi alat kontrol sosial yang terjadi di kampus. Tapi bukan hanya itu saja.
Pers mahasiswa adalah mahasiswa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik dan berada di kampus. Berbeda dengan dunia jurnalistik pada umumnya. Ya, namanya saja sudah pers mahasiswa yang pasti nya diisi oleh para mahasiswa yang berpikiran kritis, peduli terhadap situasi bangsa, dan tertarik dengan kerja jurnalistik. Intinya kerja sesuai fungsi pers.
Pada hari kedua, kupikir itu sekitar jam 05.00 pagi. Ketika itu mataku masih berat untuk dibuka, tapi bell berbunyi berkali-kali sampai kami beranjak dari dalam tenda. Di luar gelap, kami diarahkan jenderal berkumpul, sebutan pemimpin angkatan ini agar berbaris dan berol
Di luar gelap, kami diarahkan jenderal berkumpul, sebutan pemimpin angkatan ini agar berbaris dan berolahraga.
Hal paling tak enaknya bangun pagi ini adalah, kami belum sikat gigi, belum cuci muka juga. Kesal, ingin bicara sama teman takut bau.
Setelah kami diizinkan bersih bersih, menunggu pemateri datang kami diarahkan kelapangan, menghafal sumpah mahasiswa.
Aku salah satu yang tak hafal. Aku ulang beberapa kali, selalu gagal. Ternyata aku tidak hanya sendiri, ada beberapa teman juga yang tau hafal. Kami disuruh menyebur kekolam.
Awalnya memang tidak semua mau untuk bersama sama masuk kolam, hukuman yang hanya karena kesalahan beberapa orang. Tapi, karena kami satu keluarga, akhirnya kami masuk ke dalam air yang tingginya kira-kira menyentuh pinggang.
Dari organisasi ini aku belajar banyak hal. Dari yang acuh dan egois, menjadi peduli.
Tidak sampai disitu, beragam hal mewarnai perjalanan kami. Langkah awal menjadi pers mahasiswa yang cukup berat sekaligus menarik untuk dilewati
Hingga pada malam hari ke tiga, kami berbaris menunggu pelantikan, semua senang. Tapi, sesaat sebelum disahkan banyak panitia mendadak tak setuju seluruh dari kami menjadi anggota.
Kami diam, enam orang teman kami ditarik bad namanya. Itu pertanda mereka tak lulus. Suasana malam ini mencekam sekaligus mengharukan, ada panitia membela sampai menangis, sebagian lagi bersikeras anggota yang tidak lulus harus pulang.
“Apakah kalian tega teman kalian tidak lulus, mana rasa kekeluargaan kalian,”.
Dengan hati membara, panitia yang membela kami menangis. Tapi, kami tetap menunduk dan tak ada satu pun yang berani berbicara .
Entah bagaimana aku menceritakan malam itu, kami menjadi sepakat seluruh dari kami harus bersama. Bersama untuk lulus.
Banyak kakak panitia marah kepada kami, hingga kami di suruh berbaris kembali, dan akhirnya kami seluruhnya dinyatakan lulus.
Kami semua menangis terseduh-seduh, rasa bahagia, sedih bercampur aduk malam itu. Hari yang panjang dan menjadi ingatkan bagi kami.
Mungkin aku adalah bagian dari jiwa yang apatis terhadap lingkungan, itu penilaianku. Aku bahkan tidak peduli terhadap apa yang terjadi di luar sana, tapi diksar kali ini memberiku penglihatan berbeda tentang kepedulian.
Oleh: Ester Adelyn Lumban Raja